Blog jelek dan masih dalam tahap perbaikan

Selasa, 12 November 2013

On 20.17 by Unknown   No comments


MAKALAH ETIKA KEPERAWATAN

EUTHANASIA
DOSEN MATA AJAR: H.YITNO,S.Kp,M.Pd



OLEH :
NAMA   :MUHAMMAD IKHWANUL HAKIM
NIM                   :01.12.029







PROGRAM STUDI PENDIDIKAN S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
HUTAMA ABDI HUSADA
TULUNGAGUNG
Jl. Dr. Wahidin Sudiro Husodo 1, Tulungagung, Jawa Timur. No Telp, : 0355-322738


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Pengertian Euthanasia
Kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani eu artinya “baik” dan thanatos artinya “kematian”. Menurut Ensiklopedi Indonesia, bahwa Euthanasia (Yunani) berarti matinya gampang. Istilah pertolongan medis adalah agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seorang yang akan meninggal di peperangan. Juga berarti mempercepat kematian seorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
Jadi euthanasia adalah tindakan  memudahkan kematian atau mengakhiri hidup seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, tindakan ini dilakukan terhadap penderita penyakit yang tidak mempunyai harapan sembuh. Maka dari pada itu euthanasia merupakan pembunuhan yang diminta atau mendapat persetujuan baik dari pihak pasien maupun pihak keluarganya.



















BAB II
PEMBAHASAN

Macam-macam Euthanasia
Ada dua macam euthanasia dalam praktek kedokteran yaitu :
1. Euthanasia Pasif adalah tindakan dokter yang berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Kemudian ada lagi yang digolongkan euthanasia pasif yaitu upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin bisa sembuh. Adapun alasan yang lazim dikemukakan adalah sebagai berikut:
a.    ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, padahal biaya pengobatannya yang dibutuhkan sangat tinggi.
b.    fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.Ada beberapa contoh pada kasus ini seperti : penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, yang disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh, dan lain-lain.
2.    Euthanasia Aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Hal ini dilakukan pada saat keadaan penyakit pasiien            sudah sangat parah yang menurut perkiraan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh. Adapun alasan yang dikemukakan oleh dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah, misalnya : seorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa pasien tersebut akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi yang sekiranya  dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentuikan pernafasan sekaligus.
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh dokter untuk tidak melakukan upaya aktif  yaitu:
1)   Adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, di satu pihak dituntut untuk meringankan penderitaan pasien, tapi di pihak lain menghilangkan nyawa orang lain.
2)   Tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundang-undangan merupakan tindak pidana.


Euthanasia menurut KUHP dan Kode Etik Kedokteran
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Berdasarkan pasal ini, seorang dokter biasanya dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Hanya saja isi pasal 344 KUHP itu masih mengandung masalah. Sebagai terlihat pada pasal itu, bahwa permintaan menghilangkan nyawa itu harus disebut dengan nyata dan sungguh-sungguh. Maka bagaimanakah pasien yang sakit jiwa, anak-anak, atau penderita yang sedang comma. Mereka itu tidaklah mungkin membuat pernyataan secara tertulis sebagai tanda bukti sungguh-sungguh. Sekiranya euthanasia dilakukan juga, mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 itu, tetapi ia tidak bias melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.” Dokter melakukan tindakan euthanasia (aktif khususnya), bisa diberhantikan dari jabatannya, karena melanggar etik kedokteran.
 Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a.  Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.

Hukum Euthanasia Menurut Pandangan Islam
Kemudian muncul dalam persoalan fiqih, apakah memudahkan proses kematian secara pasif dan aktif juga tolerir oleh Islam?
Adapun Euthanasia secara aktif adalah tidak diperkenankan oleh syari’at. Karena tujuannya membunuh si pasien sakit yang akan mempercepat kematian, berarti ia telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya dan termasuk dosa besar meskipun yang mendorong itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Contoh lain seperti transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma. Hadits nabi mengatakan : “Tidak boleh membuat modhorot pada diri sendiri, dan tidak boleh pula membuat madharat pada orang lain”.  Artinya mengambil organ tubuh orang dalam keadaan sekarat atau koma haram hukumnya karena dapat membuat madharat kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya.
Dalam ajaran Islam, yang menentukan kematian adalah Allah SWT. Al-Qur'an surah Yunus ayat 49. Artinya : Katakanlah : “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemodhorotan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah”. Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak pula mendahulukannya.
Demikian pula dengan euthanasia yang menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan. Padahal Allah SWT menyuruh manusia untuk selalu berikhtiar sampai akhir hayatnya. Dalam hadits nabi SAW: betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya (HR. Ahmad dan Muslim).
Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan para para ulama’ fiqih. Menurut jumhur ulama’ berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama’ ada yang mewajibkannya. Para ulama beda pendapat mengenai mana yang lebih utama: bersabar atau berobat? diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar itu lebih utama. Seperti dari kalangan sahabat dan tabi’in, bahkan diantara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubay bin Ka’ab dan Abu Dzar Al-Ghifari.
Jadi hukumnya berobat pada dasarnya wajib terutama jika sakitnya parah. Oleh karena itu berobat hukumnya sunah ataupun wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Jika secara medis yang dapat dipertanggung jawabkan, si pasien tidak ada harapan sembuh, atau kelangsungan hidup bergantung pada pemberian berbagai media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infuse dan sebagainya dalam waktu lama, namun tidak ada perubahan penyakitnya; maka pengobatannya tidak wajib dan tidak sunnah sebagaimana yang difatwakan oleh Syekh Yusuf Al-Qaradhafi dalam fatwa mu’ashirahnya.
Dengan demikian, taisir al-maut semacam ini dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang dalam hal ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter dan orang lain. Tindakan euthanasia pasif dari dokter dalam kondisi seperti ini adalah boleh dan dibenarkan oleh syari’ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.


























BAB III
PENUTUP


B.       Kesimpulan dan Saran
1.        Kesimpulan
ü  Euthanasia merupakan istilah dalam ilmu kedokteran yang fungsinya untuk memudahkan kematian tanpa merasakan sakit. Sedangkan yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanya Allah SWT.
ü  Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari kode etik kedokteran, undang-undang hukum pidana, lebih-lebih menurut Islam, yang menghukumkannya haram.
ü  Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal.
2.        Saran: Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya yang amat terbatas maupun rumah sakit yang peralatannya lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara: menghentikan perawatan atau pengobatan, artinya membawa pasien pulang kerumahnya dan membiarkan pasien dalam perawatan seadanya tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.















DAFTAR PUSTAKA

Budi, U. Setiawan. 2003. Fiqih Aktual. Jakarta. Gema Insani Press.
Nata,  Abuddin. 2003. Masail Al-Fiqhiyah. UIN Jakarta. Press.
Hasan, M. Ali. 2008. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta. Rajawali Pers.
Van Hoeve. 1987, hal 978. Eksiklopedia Indonesia, Vol 2, Topik Euthanasia. Ikhtiar Baru. Jakarta. (http://ashimmurtadlo.blogspot.com/2010/12/makalah-euthanasia.html) diakses 12 Desember 2011.
Erwan, dkk. 1979, hal 137. Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta. (http://ashimmurtadlo.blogspot.com/2010/12/makalah-euthanasia.html) diakses 12 Desember 2011.
Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983. Tentang, belakunya kode etik kedokteran Indonesia bagi para dokter Indonesia. Yayasan penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta. (http://ashimmurtadlo.blogspot.com/2010/12/makalah-euthanasia.html) diakses 12 Desember 2011.


0 komentar:

Posting Komentar